Bendera Tauhid

Rabu, 17 Juni 2015

Fiqih Ramadhan

FIQIH RAMADHAN
Oleh: KH Hafidz Abdurrahman

Ramadhan bukan hanya puasa. Di dalamnya, banyak aktivitas yang diperintahkan. Begitu juga sebaliknya. Beberapa ketentuan hukum yang harus dipahami oleh kaum Muslim selama bulan suci Ramadhan adalah, sebagai berikut:

1- Ru’yatu Hilal: Mencari hilal [taharri hilal] sebagai sebab jatuhnya kewajiban berpuasa di bulan Ramadhan hukumnya fardhu Kifayah. Dasarnya adalah, “Fa Man Syahida minkum as-Syahra falyashumhu.” [Siapa saja di antara kalian yang menyaksikan bulan, maka hendaknya berpuasa] [Q.s. 2: 185]. 
Untuk melaksanakan kewajiban ini, kaum Muslim pun akan berbondong-bondong mencari hilal. Negara, pada saat yang sama, akan menyediakan berbagai sarana dan prasarana yang dibutuhkan untuk terlaksananya kewajiban ini. Setelah terbukti yang melihat, diambil sumpahnya, dan dinyatakan sah, maka Khalifah akan mengumumkan hasil itsbat tersebut ke seluruh dunia.

2- Wihdatu al-Mathla’ wa Ta’adduduh [Kesatuan dan Multi Mathla’]: Mathla’ [tempat terbitnya bulan] yang menjadi patokan hilal ada perbedaan di kalangan ulama’. Ada yang mengatakan, satu untuk seluruh dunia, dan ada yang mengatakan boleh lebih dari satu. Pendapat yang pertama, adalah pendapat Jumhur mazhab. Sedangkan pendapat yang kedua adalah pendapat Imam Syafii. 
Seiring dengan perkembangan sains dan teknologi, pendapat yang pertamalah yang lebih kuat. Untuk menjaga persatuan dan kesatuan umat Islam dan seluruh dunia, maka Khalifah pun akan menetapkan satu mathla’ untuk seluruh dunia. 

3- Sahur: Sahur hukumnya sunah. Disunahkan makan sahur, sebagaimana hadits Nabi, “Tasahharu fainna fi as-sahuri barakah.” [Sahurlah, karena sesungguhnya di dalam sahur itu terdapat keberkahan] [Hr. Muttafaq ‘Alaih]. Juga disunahkan untuk mengakhirkan sahur, menjelang Fajar. 

4- Tarawih: Shalat Tarawih, juga disebut Qiyam Ramadhan. Hukumnya sunah, sebagimana disebutkan dalam hadits Nabi, “Man Qama Ramadhan imanan wahtisaban ghufira lahu ma taqaddama min dzanbihi.” [Siapa saja yang mendirikan shalat di malam bulan Ramadhan dengan keimanan dan ikhlas untuk-Nya, maka dosanya telah lalu akan diampuni] [Hr. Bukhari]. Selain itu, juga sunah fi’liyyah Nabi saw. dan Ijma’ Sahabat. 

5- Shaum: Puasa, atau menahan diri dari segala perkara yang bisa membatalkan puasa di siang bulan Ramadhan, hukumnya wajib. Dasarnya firman Allah SWT, “Ya Ayyuha al-Ladzina Amanu Kutiba ‘alaikum as-Shiyam..” [Wahai orang-orang yang beriman, telah ditetapkan untuk kalian kewajiban berpuasa] [Q.s. 2: 183]. Kewajiban ini berlaku bagi kaum Muslim, pria-wanita, baligh, berakal dan mampu.
Bagi yang sedang bepergian atau sakit ada rukhshah [dispensasi]. Mereka boleh tidak berpuasa, dengan kewajiban untuk mengganti puasanya pada waktu yang lain. Allah berfirman, “Wa Man Kana Maridhan au ‘ala Safarin fa’iddatun min Ayyamin Ukhar.” [Siapa saja yang sakit atau bepergian, maka baginya kewajiban mengganti di hari-hari lain] [Q.s. 2: 185].  

6- Qira’ah al-Qur’an: Membaca al-Qur’an, menghayati makna dan mengamalkannya hukumnya fardhu ‘ain bagi tiap kaum Muslim. Kewajiban ini tidak hanya berlaku di bulan Ramadhan, tetapi juga di luar bulan suci Ramadhan. Namun, jika kewajiban ini dilakukan di bulan Ramadhan, maka pahalanya akan dilipatgandakan oleh Allah SWT. 

7- Sedekah: Sedekah hukumnya sunah, baik di luar maupun di bulan Ramadhan. Hanya saja, jika sedekah ini dilakukan di bulan Ramadhan, pahalanya berbeda. Karena, nilai kesunahannya dinaikkan menjadi setaraf dengan fardhu. Sebagaimana sabda Nabi, “Man Adda Khashlatan min al-Khairi, Kana Kaman Adda Faridhatan fima Siwahu.” [Siapa saja yang menunaikan satu kebaikan, sama dengan menunaikan satu kefardhuan di luar Ramadhan] [Hr. Ibn Huzaimah].
Ini tidak hanya berlaku untuk sedekah saja, tetapi juga berlaku untuk perkara sunah yang lain. Shalat, menolong orang atau pun yang lain. 

8- Lahwu wa Laghwu: Main-main dan melakukan hal yang sia-sia, seperti mengisi waktu puasa dengan bermain, menghabiskan waktu di depan televisi, ganget, dan segala sarana yang bisa melalaikan termasuk perkara yang dilarang. Begitu juga ucapan, obrolan dan tindakan yang sia-sia harus ditinggalkan sejauh-jauhnya di bulan suci Ramadhan. Dalam hal ini, ‘Umar bin al-Khatthab berkata, “Laisa as-Shiyamu min at-Tha’am, wa as-Syarab wahdah, wa lakin min al-Kadzib, wa al-Bathil, wa al-Laghwi wa al-Halaf.” [Puasa bukan hanya menahan diri dari makan dan minum saja, tetapi juga menahan diri dari dusta, perkara batil, sia-sia dan sumpah serapah] [al-Majmu’, Juz VI/409].

9- Dakwah dan Jihad: Baik dakwah maupun jihad, sama-sama hukumnya wajib. Kewajiban ini harus dilakukan kapapun dan di mana pun. Namun, jika dilakukan di bulan Ramadhan, dengan tingginya faktor ketaatan dan kedekatan pelakunya dengan Allah SWT, maka tingkat keberhasilannya akan tinggi. Karena itu, Nabi saw. dan para sahabat, juga Khalifah dan penguasa kaum Muslim setelah mereka, banyak menggunakan momentum Ramadhan untuk melakukan kedua kewajiban tersebut. [Lihat, Siyasah Syar’iyyah]. 

10- Umrah: Meski Nabi saw. sendiri tidak pernah melakukan umrah di bulan suci Ramadhan, namun Nabi saw. pernah bersabda, “Umratun fi Ramadhan Ta’dilu Hajjatan.” [Umrah di bulan Ramadhan setara nilainya dengan haji] [Hr. Ahmad dan Ibn Majah]. Hadits ini cukup menjadi dalil, bahwa melaksanakan umrah di bulan suci Ramadhan hukumnya sunah, dan pahalanya sama dengan ibadah haji. 

11- Dakwah li Isti’naf al-Hayat al-Islamiyyah: Seluruh hukum di atas hanya akan bisa diwujudkan dengan sempurna, ketika dilaksanakan dalam suasana kehidupan Islam. Maka, menghidupkan kembali kehidupan Islam hukumnya wajib. Bahkan, karena ini menjadi pangkal kembalinya seluruh pelaksanaan hukum Islam, maka kewajiban untuk mengembalikan kehidupan Islam merupakan mahkota kewajiban [taju al-furudh]. 
Mahkota kewajiban ini tidak mungkin bisa diwujudkan, kecuali dengan adanya Khilafah Rasyidah ‘ala Minhaj Nubuwwah. Karena itu, berjuang untuk menegakkan Khilafah juga merupakan mahkota kewajiban [taju al-furudh]. Kewajiban ini sangat besar nilainya, jika dilaksanakan di bulan suci Ramadhan. Disamping itu, tingkat keberhasilannya juga lebih tinggi, karena tingkat ketaatan dan kedetakan para pejuangnya dengan Allah SWT. 

Khadim Majelis Syaraful Haramain – Indonesia
@Hafidz_AR1924

Minggu, 14 Juni 2015

Mengapa Khilafah Wajib Diperjuangkan Setiap Muslim

Berikut tulisan ust Dwi Condro ketika menjawab pendapat seorang teman yg mengatakan, kita berjuang berdasar kapasitas kita masing2, jd silahkan bila ada yg berjuang utk tegaknya khilafah, dan ada yg berjuang utk kebaikan yg lain, yg penting fastabiqul khoirot....

Alhamdulillah, terima kasih Mas Hadi. Telah mengingatkan pada kita semua. Kalau boleh menambahkan (kalau salah mohon dikoreksi):
Dalam beramal seharusnya tidak hanya sekedar mendasarkan pada kapasitas kita. Namun, berdasarkan taklif yang dibebankan Allah kepada kita, yaitu berdasarkan hukum syari’at yang lima: wajib, sunnah, mubah makruh dan haram. Dan, untuk mengamalkannya-pun harus mengikuti aulawiyatnya, yaitu: wajib harus didahulukan daripada sunnah; sunnah didahulukan daripada mubah dan seterusnya.
Oleh karenanya, yang harus kita fikirkan adalah bagaimana agar segala kewajiban itu dapat kita amalkan terlebih dahulu. Sebab, jika ada kewajiban yang masih kita tinggalkan, maka kita akan berdosa dan bisa terancam masuk neraka.
Masalahnya, kewajiban itu ada dua, yaitu: fardhu ‘ain dan fardhu kifayah. Insya Allah, untuk fardhu ‘ain, kita sudah mampu mengamalkannya. Contohnya, perintah Allah dalam QS. 2:183:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ ﴿١٨٣﴾
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa...”.
Namun, bagaimana dengan firman Allah dalam QS. 2: 178:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى ﴿١٧٨﴾
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh,...”.
Itu adalah fardhu kifayah yang taklifnya adalah untuk seluruh orang-orang beriman. Artinya, setiap ada kasus pembunuhan yang tidak dihukum dengan hukum Islam, seluruh orang-orang yang mengaku beriman akan mendapatkan dosa.
Yang menjadi masalah, fardhu kifayah itu banyak sekali jumlahnya, masih terbengkalai, tidak diamalkan, karena negara tidak mau menerapkan hukum syari’at. Setiap hari ada kasus pembunuhan, pencurian, pemerkosaan, masih banyak yang meninggalkan sholat, puasa, zakat, tidak menutup aurat, dalam berekonomi mayoritas masih bertransaksi dengan bunga/riba, dsb. 
Nah, bagaimana fardhu-fardhu kifayah itu dapat digugurkan? Jawabnya hanya satu: jika sudah diamalkan oleh negara. Bagaimana jika negara tidak mau mengamalkan? Maka, seluruh rakyatnya akan berdosa, yaitu dosa kifayah. Pertanyaannya: Mungkinkah kita bisa langsung masuk surga, jika kita masih banyak bergelimpangan dengan dosa-dosa kifayah?
Disinilah kita sangat membutuhkan amal yang bisa menggugurkan dosa-dosa kifayah tersebut. Di titik inilah biasanya akan banyak muncul ikhtilaf diantara kita, sehingga masing-masing sudah merasa ikut terlibat dalam perjuangan penegakan Islam. Terlebih lagi, biasanya kita cenderung enggan untuk berdiskusi dalam masalah ini, dan cenderung sudah cukup hanya dengan saling menghormati, fastabiqul khairat... ini jelas sikap yang kurang tepat. Justru di titik inilah kita seharusnya sangat serius dalam berdiskusi dan beradu hujjah. Mengapa?
Contoh sederhana: jika ada tetangga kita yang meninggal dunia, kemudian jenazahnya kita terlantarkan, tidak ada yang memandikan, mengafani, menyolati dan menguburkan. Siapa yang berdosa? Tentu kaum muslimin akan berdosa. Apakah dosa ini bisa dihapuskan dengan memperbanyak amal yang lain, misalnya: banyak berdzikir, beristighfar, bershodaqoh, banyak megajarkan qur’an, mengajak yasinan dsb. Apakah semua amal itu bisa menggugurkan fardhu kifayah tersebut? Sementara jenazah itu masih terlantar di sekeliling kita?
Jawabnya: tentu saja tidak bisa. Sampai kapan? Sampai jenazah itu dikuburkan dengan sempurna. Selama jenazah itu diterlantarkan, jika kita masih beramal dengan amalan yang tidak berhubungan langsung dengan kewajiban tersebut (walaupun amalan itu ada pahalanya), kita akan tetap akan mendapatkan dosa. Dosa apa? Dosa kifayah.
Pertanyaannya: apa amalan yang bisa menggugurkan fardhu kifayah tersebut? Jawabnya sangat mudah: amalan yang langsung tekait dengan kewajibannya, yaitu mengurus jenazah tersebut. Bagaimana jika kita tidak bisa mengurus jenazah itu sendirian? Jawabnya: Kita wajib mengajak/menyeru kepada kaum muslimin agar terlibat langsung untuk mengurus jenazah tersebut. Bukan mengajak beramal yang lain, yaitu: mengajak baca qur’an, wiridan, yasinan, tahlilan dsb, sementara jenazahnya justru tetap diterlantarkan.
Kesimpulannya: Jika kewajibannya adalah mengurus jenazah, maka seruannya adalah mengajak untuk mengurus jenazah. Maka, jika kewajibannya adalah penerapan hukum syari’ah oleh penguasa, maka seruannya adalah menyeru kepada penguasa agar mau menerapkan syari’ah. Mudah bukan?
Masalah berikutnya: apakah kita bisa menyeru penguasa, jika kita hanya sendirian? Disinilah kita memerlukan sebuah jamaah, agar seruan kita didengar penguasa. Maka, bergabung dengan jamaah yang amalnya adalah menyeru penguasa agar menerapkan syari’ah dengan institusi khilafah, hukumnya menjadi wajib, sesuai kaidah syara’:
مَا لَا يَتِمُّ الْوَاجِبُ اِلّاَ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
“Suatu kewajiban yang tidak dapat terlaksana secara sempurna, kecuali dengan sesuatu, maka adanya sesuatu itu manjadi wajib hukumnya”. 
Masalah selanjutnya: Bagaimana jika penguasanya tetap tidak mau menerapkan syari’ah, padahal sudah kita seru/dakwahi terus menerus? Disinilah kita bisa bersandar kepada dalil “keterpaksaan”, sbb:
إِنَّ اللَّهَ وَضَعَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ) سنن ابن ماجه(
“Sesungguhnya Allah telah mengabaikan (mengampuni dosa) atas ummatku dari kesalahan (ketidaksengajaan), lupa dan keterpaksaan atas mereka” (HR. Ibn Hibban dan Ibn Majah).
Jika kita sudah berusaha sungguh-sungguh untuk mendakwahi penguasa, namun penguasa tetap enggan menerapkan syari’ah, semoga Allah berkenan mengampuni/menggugurkan dosa-dosa kifayah kita, karena keterpaksaan atas diri kita.

Jumat, 12 Juni 2015

CARA MUDAH DAN CEPAT MENJELASKAN PERBEDAAN DEMOKRASI, DIKTATOR DAN KHILAFAH



Apakah ada cara mudah dan cepat menjelaskan perbedaan sistem demokrasi, diktator dan khilafah? InsyaAllah ada. Dengan apa? Cukup dengan menggunakan analogi shalat berjamaah.

Jika kita menyaksikan sekelompok orang yang shalat berjamaah, ada satu orang imam yang diikuti banyak orang yang menjadi makmum. Kita bisa menyaksikan, apapun perintah dan gerakan imamnya akan diikuti oleh makmumnya, tanpa ada yang membantah. Jika imamnya takbir, semua makmumnya takbir. Jika imamnya rukuk, semua makmumnya rukuk, jika sujud, semua sujud, dan seterusnya. Semuamakmumnya akan bersikap: "sami'na wa atha'na" (kami mendengar dan kami ta'at).

Pertanyaannya: apakah imamnya adalah seorang diktator? Jawabannya: tidak! Mengapa? Sebab, jika imamnya garuk-garuk, apakah ada makmum yang mengikutinya? Jika imamnya batuk, apakah apakahada makmum yang mengikutinya? Jika gerakan imamnya salah, apakah makmunnya akan tetap mengikutinya? Artinya, imam tidak bisa dikatakan diktator, sebab apa yang dia perintahkan bukan kehendaknya sendiri, melainkan perintah dari Allah SWT. Makmum juga tidak bisa dikatakan pihak yang mengikuti saja pada perintah imamnya, sebab, jika imamnya salah, makmum akan membetulkannya.Bahkan, jika imamnya batal, maka imam harus segera lengser dan harus segera digantikan oleh salah seorang makmumnya. Sebaliknya: jika para makmum yang dengan sukarela dan sepenuh hati mengikuti gerakan imamnya, apakah itu karena aturan shalat sudah mengikuti kehendak mayoritas makmumnya, sebagaimana yang ada dalam sistem demokrasi? Jawabnya tentu saja tidak! Mengapa? Buktinya, jika mayoritas makmumnya ingin agar shalat subuh itu diganti menjadi 4 rakaat, dengan pertimbangan karena waktu subuh itu sangat cocok untuk berolahraga; sedangkan shalat dzuhurnya dikurangi saja menjadi 2 rakaat, dengan pertimbangan karena itu adalah saat-saat orang sudah lelah bekerja, apakah imamnya akan menyetujui usulan mayoritas makmumnya tersebut? Jawabannya tentu saja tidak!

Apa kesimpulannya? Sesungguhnya sistem politik Islam, yakni sistem kekhilafahan dapat diibaratkan seperti kehidupan shalat berjamaah. Dalam sistem khilafah, seorang pemimpin, yaiu khilafah harus tahu syariat Islam yang akan diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

 Sebagaimana seorang imam juga harus tahu betul aturan syariat Islam yang berkaitan dengan shalat berjamaah. Dalam sistem khilafah, seluruh rakyatnya juga harus tahu syariat Islam yang berkaitan dengan kehidupan bermasyarakat dan bernegaranya. Sebagaimana seorang makmum juga harus mengetahui syariat Islam yang berkaitan dengan shalat berjamaah. Sehingga rakyat harus benar-benar tahu, kapan saat pemimpin harus ditaati, kapan saat pemimpin harus dikoreksi dan juga tahu kapan saat pemimpin itu wajib dilengserkan. Mudah bukan?

Kesimpulannya, sistem khilafah itu bukanlah sistem diktator dan juga bukan sistem demokrasi. Sistem khilafah itu adalah sistem yang berasal dari syariat Allah dan Rasul-Nya. Bukan sistem buatan manusia. Kewajiban manusia adalah menerapkannya dan mengamalkannya,dengan sepenuh keimanan dam keikhlasan, "sami'na wa atha'na" (kami mendengar dan kami ta'at).

Ringkasan tulisan:"Antara Demokrasi, Diktator dan Khilafah" H. Dwi Condro Triono, PhD

Pertanyaan Malaikat Di Alam Kubur

PERTANYAAN MALAIKAT DI DALAM KUBUR

Tanya : Man Rabbuka? Siapa Tuhanmu?
Jawab : Allahu Rabbi. Allah Tuhanku.

Tanya : Man Nabiyyuka? Siapa Nabimu?
Jawab : Muhammadun Nabiyyi. Muhammad Nabiku

Tanya : Ma Dinuka? Apa agamamu?
Jawab : Al-Islamu din. Islam agamaku

Tanya : Ma Imamuka? Apa imammu?
Jawab : Al-Qur'an Imami. Al-Qur'an Imamku

Tanya : Aina Qiblatuka? Di mana kiblatmu?
Jawab : Al-Ka'batu Qiblati. Ka'bah Qiblatku

Tanya : Man Ikhwanuka? Siapa saudaramu?
Jawab : Al-Muslimun Wal-Muslimat Ikhwani. Muslimin dan Muslimah saudaraku..

Jawabannya sangat sederhana bukan?
Tapi apakah sesederhana itukah kelak kita akan menjawabnya?

Saat tubuh terbaring sendiri di perut bumi.
Saat kegelapan menghentak ketakutan.
Saat tubuh menggigil gemetaran.
Saat tiada lagi yang mampu jadi penolong.

Ya, tak akan pernah ada seorangpun yang mampu menolong kita.
Selain amal kebaikan yang telah kita perbuat selama hidup di dunia.

Astaghfirullahal 'Adzim..

Ampunilah kami Ya Allah..

Kami hanyalah hamba-Mu yang berlumur dosa dan maksiat..
Sangat hina diri kami ini di hadapan-Mu..
Tidak pantas rasanya kami meminta dan selalu meminta maghfirah-Mu..
Sementara kami selalu melanggar larangan-Mu..

Ya Allah...
Izinkan kami untuk senantiasa bersimpuh memohon maghfirah dan rahmat-Mu..
Tunjukkanlah kami jalan terang menuju cahaya-Mu..
Tunjukkanlah kami pada jalan yang lurus,
Agar kami tidak sesat dan tersesatkan.. Aamiin.

Selasa, 02 Juni 2015

SEMANGAT TUK TERUS SAMPAIKAN KEBAIKAN (Dakwah)

Mungkin Kita Sudah Lelah....

Sudah lelahkah wahai kawan atas perjuangan ini..? 
mungkin jadwal dakwah yang padat itu membuatmu lemah?

Atau tak pernah punya waktu istirahat di akhir pekan yang kau gusarkan, karena harus terus
BERGERAK berdakwah?

Atau pusingnya fikiranmu mempersiapkan acara2 dakwah yang membuatmu ingin terpejam?

Atau panasnya aspal jalanan saat kau melakukan aksi yang ingin membuatmu “rehat sejenak”?

Atau sulitnya mencari orang yang ingin kau ajak HIJRAH ini yang kau risaukan?

Atau karena seringnya kehidupan sekitar kita meminta infak2mu yang membuatmu ingin menjauh?

Dakwah kita hari ini hanya sebatas ‘itu’ saja kawan.
bukan ingin melemahkan tapi izinkan saya mengajakmu merenung sejenak….

Tahukah engkau wahai kawan, siapa Umar bin Abdul Azis?? 
Tubuhnya hancur dalam rangka 2
tahun masa memimpinnya...
2 tahun kawan, cuma 2 tahun memimpin tubuhnya yang perkasa bisa rontok, kemudian sakit lalu syahid... Sulit membayangkan sekeras apa sang khalifah bekerja…tapi salah satu pencapainya adalah;
saat itu umat kebingungan siapa yang harus diberi zakat…
tak ada lagi orang miskin yang layak diberi infaq…

Memang seperti itu dakwah. Dakwah adalah cinta.
Dan cinta akan meminta semuanya dari dirimu.
Sampai pikiranmu.
Sampai perhatianmu.
Berjalan, duduk, dan tidurmu.

Tapi Syekh Musthafa Masyhur mengatakan
“Jalan dakwah ini adalah jalan yang panjang tapi adalah jalan yang paling aman untuk mencapai ridho-Nya.”

Ya kawan, jalan ini yang akan menuntun kita kepada ridho-Nya…
saat Allah ridho..
maka apalagi yang kita risaukan?
Saat Allah ridho…semuanya akan jauh lebih indah…karena surga akan mudah kita rasa..., in syaa Allah.

Rasulullah begitu berat dakwahnya..
harus bertentangan dengan banyak kabilah dari keluarga besarnya..

Mush'ab bin Umair harus rela meninggalkan ibunya...

Salman harus rela meninggalkan seluruh yang dia kumpulkan di Mekkah untuk hijrah…

Asma' binti Abu Bakar rela menaiki tebing yang terjal dalam kondisi hamil untuk mengantarkan makanan kepada ayahnya dan Rasulullah

Hanzholah segera menyambut seruan jihad saat bermalam pertama dengan istrinya,

Ka'ab bin Malik menolak dengan tegas suaka Raja Ghassan saat ia dikucilkan…

Bilal, Ammar, keluarga Yasir... mereka kenyang dengan siksaan dari para kafir,

Abu Dzar habis dipukuli karena meneriakkan kalimat tauhid di pasar,

Ali mampu berlari 400 KM guna berhijrah di gurun hanya sendirian,

Usman rela menginfakkan 1000 unta penuh makanan untuk perang Tabuk,

Abu Bakar hanya meninggalkan Allah dan Rasul-Nya untuk keluarganya…

Umar nekat berhijrah secara terang terangan,

Huzaifah berani mengambil tantangan untuk menjadi intel di kandang musuh,

Thalhah siap menjadi pagar hidup Rasul di Uhud, hingga 70 tombak mengenai tubuhnya,

Zubair bin Awwam adalah hawariinya rasul,

Al Khansa' merelakan anak2nya yang masih kecil untuk berjihad,

Nusaibah yang walaupun dia wanita tapi tak takut turun ke medan perang,

Khadijah sang cintanya rasul siap memberikan seluruh harta dan jiwanya untuk islam, siap menenangkan sang suami di kala susah.. benar2 istri shalihah

Atau mari kita bicara tentang 📌Musa…mulutnya gagap tapi dakwahnya tak pernah pudar…
ummatnya seburuk-buruknya ummat, tapi proses menyeru tak pernah berhenti…

📌atau Nuh, 950 tahun menyeru hanya mendapat pengikut beberapa orang saja..bahkan
anaknya tak mengimaninya…

📌Ibrahim yang dibakar Namrud, 

Syu’aib yang menderita sakit berkepanjangan tapi tetap
menyeru…

📌Ismail yang rela disembelih ayahnya karena ini perintah Allah…

Deretan sejarah di atas adalah SEBAIK-BAIKnya guru dalam kehidupan kita...

Sekarang beranikah kita masih menyombongkan diri bersama jalan dakwah yang kita lakukan saat
ini,
mengatakan lelah padahal belum banyak melakukan apa apa…bahkan terkadang… kita datang menyeru dengan keterpaksaan, berat hati
kita, terkadang menolak amanah (untuk menjadi TELADAN)

Cara Istri Buat Suami Tergila2 Padanya

== Seorang Ayah bercerita pd anak perempuannya, kisah seorang istri yang bisa membuat suaminya tergila-gila padanya ==
Suatu hari seorang wanita tua diwawancarai oleh seorang presenter dalam sebuah acara tentang rahasia kebahagiaannya yang tak pernah putus.
Apakah hal itu karena ia pintar memasak? Atau karena ia cantik? Atau karena ia bisa melahirkan banyak anak, ataukah karena apa?
Wanita itu menjawab :
“Sesungguhnya rahasia kabahagiaan suami istri ada di tangan sang istri, tentunya setelah mendapat taufik dari Allah.
Seorang istri mampu menjadikan rumahnya laksana surga, juga mampu menjadikannya neraka.
Jangan Anda katakan karena harta!
Sebab betapa banyak istri kaya raya namun ia rusak karenanya, lalu sang suami meninggalkannya.
Jangan pula Anda katakan karena anak-anak!
Bukankah banyak istri yang mampu melahirkan banyak anak hingga sepuluh namun sang suami tak mencintainya, bahkan mungkin menceraikannya.
Dan betapa banyak istri yang pintar memasak.
Di antara mereka ada yang mampu memasak hingga seharian tapi meskipun begitu ia sering mengeluhkan tentang perilaku buruk sang suami.”
Maka sang peresenter pun terheran, segera ia berucap:
“Lantas apakah rahasianya?”
Wanita itu menjawab:
“Saat suamiku marah dan meledak-ledak, segera aku diam dengan rasa hormat padanya. Aku tundukkan kepalaku dengan penuh rasa maaf.
Tapi janganlah Anda diam yang disertai pandangan mengejek, sebab seorang lelaki sangat cerdas untuk memahami itu.”
“Kenapa Anda tidak keluar dari kamar saja?” tukas presenter.
Wanita itu segera menjawab:
“Jangan Anda lalukan itu! Sebab suamimu akan menyangka bahwa Anda lari dan tak sudi mendengarkannya. Anda harus diam dan menerima segala yang diucapkannya hingga ia tenang.
Setelah ia tenang, aku katakan padanya,
Apakah sudah selesai?
Selanjutnya aku keluar….
sebab ia pasti lelah dan butuh istirahat setelah melepas ledakan amarahnya.
Aku keluar dan melanjutkan kembali pekerjaan rumahku.”
“Apa yang Anda lakukan?
Apakah Anda menghindar darinya dan tidak berbicara dengannya selama sepekan atau lebih?” tanya presenter penasaran.
Wanita itu menasehati:
“Anda jangan lakukan itu, sebab itu kebiasaan buruk. Itu senjata yang bisa menjadi bumerang buat Anda.
Saat Anda menghindar darinya sepekan sedang ia ingin meminta maaf kepada Anda, maka menghindar darinya akan membuatnya kembali marah.
Bahkan mungkin ia akan jauh lebih murka dari sebelumnya.”
“Lalu apa yang Anda lakukan?” tanya sang presenter terus mengejar.
Wanita itu menjawab:
“Selang dua jam atau lebih, aku bawakan untuknya segelas jus buah atau secangkir kopi, dan kukatakan padanya,
Silakan diminum.
Aku tahu ia pasti membutuhkan hal yang demikian, maka aku berkata-kata padanya seperti tak pernah terjadi sesuatu sebelumnya.”
“Apakah Anda marah padanya?” ucap presenter dengan muka takjub.
Wanita itu berkata:
“Tidak.
Dan saat itulah suamiku mulai meminta maaf padaku dan ia berkata dengan suara yang lembut.”
“Dan Anda mempercayainya?” ujar sang presenter.
Wanita itu menjawab:
“Ya. Pasti. Sebab aku percaya dengan diriku dan aku bukan orang bodoh.
Apakah Anda ingin aku mempercayainya saat ia marah lalu tidak mempercayainya saat ia tenang?”
“Lalu bagaimana dengan harga diri Anda?” potong sang presenter.
“Harga diriku ada pada ridha suamiku dan pada tentramnya hubungan kami.
Dan sejatinya antara suami istri sudah tak ada lagi yang namanya harga diri. Harga diri apa lagi!!!
Padahal di hadapan suami Anda, Anda telah lepaskan semua pakaian Anda!”
[ Cuplikan dari statusnya Ustadz Fairuz Ahmad setahun lalu ]