Bendera Tauhid

Jumat, 28 Juni 2013

Bahaya Merasa Aman dari Makar Allah

Bahaya Merasa Aman dari Makar Allah

Oleh: Badrul Tamam
Al-Hamdulillah, segala puji milik Allah yang kita senantiasa memuji-Nya, memohon pertolongan dan ampunan kepada-Nya. Shalawat dan salam atas hamba dan utusan-Nya, Nabi Muhammad –Shallallahu 'Alaihi Wasallam-, keluarga dan papa sahabatnya.

Merasa aman dari makar Allah adalah salah satu perusak akidah dan mengurangi kesempurnaan tauhid. Yakni merasa sok tahu tentang rahasia Allah terhadap dirinya. Sehingga ia menjamin keselamatan dirinya di akhirat; semua amalnya diterima, semua dosanya diampuni, dan mati di atas husnul khatimah. Ini bisa terjadi disebabkan karena kejahilan atau tertipu oleh amal-amal baik yang telah dikerjakannya.

Makar adalah rencana buruk tersembunyi yang ditimpakan kepada seseorang yang menjadi objek tanpa sepengetahuannya. Maka makar Allah adalah rencana buruk yang Allah jalankan terhadap manusia tanpa mereka sadari. Makar ini sebagai realisasi terhadap kekuasaan-Nya di alam raya dan kesempurnaan hikmah-Nya. Hakikatnya ini baik dan terpuji bagi Allah sebagai kesempurnaan kekuasaan dan keadilan-Nya, walaupun buruk atas orang yang tertimpa.

Ibnul Qayyim dalam al-Fawaid (hal. 160) berkata: Adapun makar yang Allah sifatkan pada diri-Nya adalah balasan dari-nya kepada orang-orang yang berbuat jahat kepada para wali dan utusan-Nya, lalu Allah membalas makar mereka yang buruk dengan Makar-Nya yang bagus. Sehingga makar mereka adalah seburuk-buruknya makar, sedangkan makar dari Allah adalah sebagus-bagusnya makar, karena ia bentuk keadilan dan balasan."

Beliau menambahkan, bahwa para wali Allah harus takut terhadap makar-Nya. Mereka takut kalau Allah meninggalkan mereka karena sebab dosa dan kesalahan yang diperbuat sehingga mereka akan binasa. Mereka takut terhadap doa-dosa mereka dan berharap terhadap rahmat-Nya.

Syaikh Ibnu Bazz berkata, "Merasa aman dari makar Allah bentuknya seseorang hatinya tenang-tenang saja dan tidak takut kepada hukuman Allah. Bahkan saat ia bermaksiat dan berbuat buruk merasa aman dari hukuman Allah dengan cuek dan tidak takut hukuman Allah, ini bisa terjadi disebabkan kejahilannya atau tertipu karena merasa dirinya muwahhid (seorang ahli tauhid) sementara maksiat tidak berpengaruh sedikitpun padanya; atau karena sebab lain yang memperdayakannya (berbuat durhaka) terhadap Allah sehingga gampang sekali berbuat maksiat dan merasa aman dari hukuman Allah, tidak takut kepada hukuman terebut."

Jika dirinci ada empat macam bentuk merasa aman dari makar Allah ini: Pertama, tenang-tenang saja dalam menjalani hidup dan tidak takut terhadap hukuman Allah. Jika tidak mau shalat maka ringan ia tinggalkan, jika mau maksiat gampang ia jalankan tanpa beban. Ini biasanya disebabkan kejahilan.

Kedua, tertipu; merasa dirinya orang yang akidahnya kuat, ibadahnya benar, dan manhajnya lurus sehingga ia merasa semua ibadahnya diterima dan dosa-dosanya terampuni sehingga saat ia bermaksiat tak terlalu mengganggu keimanannya.

Ketiga, menggampangkan Allah Subhanahu wa Ta'ala; ia bermaksiat dengan niatan untuk taubat sesudahnya. Sehingga ringan berbuat durhaka dan menggampangkan taubatnya.
Ismail bin Rafi' berkata, "Termasuk merasa aman dari makar Allah adalah seorang hamba mengerjakan dosa dengan berharap ampunan kepada Allah." (Riwayat Ibnu Abi Hatim)

Keempat, istidraj; seseorang mendapat dunia yang melimpah dengan bermaksiat kepada Allah dan jauh dari ajaran agama-Nya. Ia merasa sebagai orang yang baik dan berada di atas kebenaran dengan banyaknya dunia tersebut. Sehingga enggan menyambut seruan dakwah Islam dan menerapkan syariatnya.

Hukum Merasa Aman dari Makar Allah
Merasa aman dari makar Allah termasuk dosa besar yang akan merusak kesempurnaan tauhid. Terdapat ancaman cukup keras terhadap perbuatan ini, karena dampaknya sangat hebat, yaitu seseorang akan terus menerus dalam kesesatan dan maksiatnya. Atau terlalu berbangga dengan amalnya sehingga ia lupa kepada Allah (kuasa-Nya) dan tidak bersandar kepada-Nya. Akibatnya, ia yang sombong dan tidak sopan kepada Allah serta tidak merendahkan diri kepada-Nya.
Allah Ta'ala berfirman,
أَفَأَمِنُوا مَكْرَ اللَّهِ فَلا يَأْمَنُ مَكْرَ اللَّهِ إِلاَّ الْقَوْمُ الْخَاسِرُونَ
"Maka apakah mereka merasa aman dari azab Allah (yang tidak terduga-duga)? Tiadalah yang merasa aman dari azab Allah kecuali orang-orang yang merugi." (QS. Al-A'raf: 99)

Disebutkannya ayat ini sesudah ayat yang menerangkan kaum yang mendustakan Allah menunjukkan bahwa yang mendorong mereka untuk melakukan itu adalah merasa aman dari makar Allah Subhanahu wa Ta'ala dan tidak takut kepada-Nya. "Maka apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di malam hari di waktu mereka sedang tidur? Atau apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di waktu matahari sepenggalahan naik ketika mereka sedang bermain?Maka apakah mereka merasa aman dari azab Allah (yang tidak terduga-duga)? Tiadalah yang merasa aman dari azab Allah kecuali orang-orang yang merugi." (QS. Al-A'raf: 97-99)

Syaikh Abdurrahman bin Nashir al-Sa'di dalam tafsirnya berkata, "Di dalam ayat yang mulia ini terdapat takhwif (ancaman) yang sangat atas hamba bahwa ia tak pantas untuk merasa aman dengan iman yang sekarang ada padanya. Tetapi ia harus senantiasa takut dan khawatir kalau Allah mengujinya dengan satu ujian yang merampas iman dari dirinya. Ia harus terus berdoa dengan ucapan,
يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوْبِ، ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِيْنِكَ
"Wahai Dzat yang membolak-balikkan hati, teguhkan hati kami di atas agama-Mu." Juga beramal dan melakukan sebab yang menyelamatkannya dari keburukan saat terjadi fitnah. Karena sesungguhnya seorang hamba –setinggi apapun keadaannya- tidak yakin (memastikan) selamat."
Diriwayatkan dari Ibnu 'Abbas Radhiyallahu 'Anhuma, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam pernah ditanya tentang dosa-dosa besar, lalu beliau menjawab,
اَلشِّرْكُ بِاللهِ، وَالْيَأْسُ مِنْ رَوْحِ اللهِ ، وَالْأَمْنُ مِنْ مَكْرِ اللهِ
"Menyekutukan Allah (Syirik), berputus asa dari rahmat Allah, dan merasa aman dari makar (tipu daya) Allah." (HR. Ibnu Abi Hatim dalam Tafsirnya dan al-Bazzar)
Di antara ulama yang menyebutkannya sebagai dosa besar adalah Imam al-Dzahabi dalam kitabnya "Al-Kabair", pada urutas dosa besar yang ke 68, begitu juga Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyaim serta ulama-ulama lainnya.

Sifat Kaum Mukminin
Orang-orang mukmin yang kenal Rabb-nya akan bersegera kepada ketaatan dan kebaikan. Kemudian mereka barengi semua itu dengan rasa takut kepada Allah dan rencana tersembunyi-Nya; kalau ternyata ada syarat amal yang masih kurang sehingga tidak akan diterima oleh Allah. Allah Subhanahu wa Ta'ala sebutkan tentang mereka,
وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ أُولَئِكَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَهُمْ لَهَا سَابِقُونَ
"Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka, mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya." (QS. Al-Mukminun: 60-61)

'Aisyah Radliyallaahu 'Anha berkata, “Aku telah bertanya kepada Rasulullah Shallallaahu 'Alaihi Wasallam tentang ayat ini, apakah mereka orang-orang yang minum khamer, pezina, dan pencuri? Beliau  menjawab, “Tidak, wahai putri al-Shiddiq. Mereka adalah orang-orang yang berpuasa, menunaikan shalat dan shadaqah namun mereka takut kalau amalnya tidak diterima.” (HR. al-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad. Dishahihkan Syaikh al-Albani)

Al-Hasan al-Bashri berkata, "Orang beriman adalah orang mengerjakan ketaatan dengan disertai rasa takut dan khawatir. Sedangkan orang fajir (pendosa) adalah orang yang mengerjakan maksiat dengan disertai rasa aman (dari siksa Allah)."

Dalam berkataan beliau yang lain, "orang beriman menggabungkan antara berbuat baik dan takut; sedangkan orang kafir menggabungkan perbuatan buruk dan merasa aman."

Ibnu Mas'ud berkata: Sesungguhnya orang mukmin melihat dosa-dosanya seperti ia berada di bawah gunung yang takut akan tertimpa olehnya. Dan sesungguhnya seorang fajir (pendosa) melihat dosa-dosanya seperti lalat yang hinggap di hidungnya lalu ia lakukan seperti ini –mengibaskan tangannya di hidungnya- lalu lalat itupun terbang." (HR. Al-Bukhari dan al-Tirmidzi)

Al-Subki dalam Thabaqaat al-Syaafi'iyyah al-Kubra berkata: Para Nabi 'Alaihimus Salam mengetahui bahwa mereka telah aman dari siksa Allah bersamaan dengan hal itu mereka adalah orang-orang yang paling besar rasa takutnya; begitu juga sepuluh orang yang dipersaksikan masuk surga. Umar Radhiyallahu 'Anhu berkata: kalau saja satu kakiku sudah berada di dalam surga sedangkan kaki yang lain masih berada di luarnya maka aku tidak merasa aman dari makar Allah."

Penutup
Merasa aman dari makar Allah adalah salah satu sebab utama seseorang menjadi manusia merugi. Ia ringan mengerjakan maksiat dan dosa tanpa merasa akan ada perhitungan terhadap tindakannya itu. Sehingga ia santi saja dalam meninggalkan perintah atau menerjang larangan tanpa pernah takut kepada Allah dan siksa-Nya.

Merasa aman dari makar Allah juga bisa menimpa ahli ibadah dan orang shalih. Ia yakin semua itu benar-benar diterima dan terlalu bersandar kepada amalnya tersebut. Sehingga ia lalai untuk berdoa dan minta ampun. Ini juga bisa menimbulkan sikap tidak sopan kepada Tuhan-nya, seolah-olah ia telah menunaikan hak-hak Allah dengan sempurna dan layak menuntut pahala dari Allah. Padahal, diterimanya amal hamba itu semata-mata karena kemurahan Allah Ta'ala.

Hamba Allah yang baik adalah mereka yang benyak amal shalih dan ketaatannya, namun ia iringi semua itu dengan perasaan takut dan rendah diri di hadapan Allah. Karena ia tak pernah yakin pasti bahwa amalnya diterima –bahkan memandang amalnya tak layak diterima-, dosa-dosanya belum terampuni, dan tidak ada jaminan atasnya meninggal di atas iman. Wallahu Ta'ala A'lam. [PurWD/voa-islam.com]

link : http://m.voa-islam.com/news/aqidah/2013/03/06/23505/bahaya-merasa-aman-dari-makar-allah/

Rabu, 19 Juni 2013

Diantara Dosa dan Ta'at

Seorang Hamba, Diantara Dosa dan Ta’at

Segala puji yang disertai pengagungan seagung-agungnya hanya milik Allah Subhanahu wa Ta’ala dan perendahan diri kita yang serendah-rendahnyanya hanya kita berikan kepadaNya Robbul ‘Alamin. Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi was sallam. 

Para pembaca, semoga Allah senantiasa melimpahkan hidayahNya kepada kita, judul yang ada di atas merupakan keadaan yang seorang hamba tidak bisa lepas darinya, keadaan seorang hamba hanya berputar-putar dalam lingkaran tersebut. Jika ia sedang tidak berada dalam keta’atan maka ia akan berada dalam kemaksiatan. Dimana jika ia berada dalam keta’atan maka ketahuilah hal itu adalah sebuah nikmat yang teramat agung yang ia wajib untuk disyukuri. Jika ia sedang tidak dalam keadaan ini maka ia dalam keadaan berbuat dosa yang ia dituntut untuk bertaubat dan meminta ampunan kepada Pemilik dirinya dan Pemilik seluruh alam semesta yaitu, Allah ‘azza wa jalla.

Ada bergitu banyak tulisan Ibnu Qoyyim Al Jauziyah mengenai hal yang demikian diantaranya adalah apa yang akan kami nukilkan terjemahannya sebagai berikut mudah-mudahan bermanfaat bagi kami dan pembaca sekalian.

Beliau rohimahullah mengatakan[1],
Diantara (perwujudan shifat Hikmah Allah Subhanahu wa Ta’ala) jika Dia menginginkan kebaikan pada hambaNya maka Allah akan buat hambaNya tersebut lupa melihat keta’atan yang telah ia kerjakan[2]. Allah akan angkat hal tersebut dari hati dan lisannya. Jika Allah timpakan baginya musibah berupa dosa yang ia kerjakan di masa lalu maka ia manjadikan musibah yang berupa dosa tersebut selalu berada di pelupuk matanya, ia akan selalu mengingat-ingatnya[3] dan ia melupakan keta’atan yang ia kerjakan di masa lalu. Hal yang selalu ada di benaknya adalah ingatan akan dosa-dosanya yang telah berlalu. Maka bayangan berupa ingatan akan betapa dosa-dosanya yang telah lalu tersebut selalu ada di pelupuk matanya, tatkala ia berdiri maka yang ada di benaknya adalah betapa dosa-dosanya yang telah berlalu, tak kata ia duduk maka yang ada di benaknya adalah betapa dosa-dosanya yang telah berlalu demikian seterusnya tatkala ia pergi ke suatu tempat ataupun ketika ia sedang beristirahat maka yang ada di benaknya adalah betapa dosa-dosanya yang telah berlalu. Maka keadaan jiwanya yang demikian ini sesungguhnya telah menjadi rahmat Allah padanya. Hal ini sebagaimana yang dikatakan sebagaian salaf,
إِنَّ الْعَبْدَ لَيَعْمَلُ الْذَنْبَ فَيَدْخُلُ بِهِ الْجَنَّةَ, وَيَعْمَلُ الْحَسَنَةَ فَيَدْخُلُ بِهَا النَّارَ, قَالٌوْا وَكَيْفَ ذَالِكَ؟ قَالَ يَعْمَلُ الْخَطِئَةَ فَلَا تَزَالُ نُصْبَ عَيْنَيْهِ, كُلَّمَا ذَكَرَهَا بَكَى وَ نَدَمَ وَ تَابَ.
“Sesungguhnya (ada) seorang hamba yang melakukan dosa akan tetapi dosa tersebut  menyebabkannya masuk surga, dan sesungguhnya (ada) seorang hamba yang melakukan kebaikan akan tetapi kebaikan yang telah ia kerjakan tersebut menyebabkannya masuk neraka”. Lalu orang-orang yang mendengar bertanya, “Apa maksud Anda?” Jawabnya, “Dia melakukan kesalahan, lalu kesalahan tersebit terus menerus diingatnya. Setiap kali dia mengingatnya dia menangis, menyesal, dan bertobat”[4].
Kemudian ia beristighfar, merendahkan dirinya dan kembali kepada Allah dengan penuh perendahan diri dan dengan hati yang tercabik-cabik karena penyesalannya. Kemudian dia mengiringi taubatnya dengan beramal dengan amalan-amalan sholeh maka jadilah dosa yang ia kerjakan dahulu pada hakikatnya menjadi sebab rahmat Allah baginya. Akan tetapi sebaliknya orang yang melakukan amalan-amalan yang dhohirnya amalan kebaikan namun ia senatiasa menjadikan amalan tersebut berada di pelupuk matanya, ia membangga-banggakannya, menunjuk-nujukkannya di hadapan Robbnya dan manusia, lalu ia menyombongkan diri dengannya. Dia menganggap bagaimana mungkin orang seperti dirinya tidak diangggap, tidak dimuliakan oleh manusia. Maka hal ini senantiasa menyertainya demikian juga dampak dari hal ini akan terus menerus ada pada dirinya hingga hal tersebut mengantarkannya ke neraka. Maka…
عَلَامَةُ السَّعَادَةِ أَنْ تَكُوْنَ حَسَنَاتُ الْعَبْدِ خَلْفَ ظَهْرِهِ وَسَيْئَاتُهُ نُصْبَ عَيْنَيْهِ
وَعَلَامَةُ الشَّقَاوَةِ أَنْ يَجْعَلَ حَسَنَاتُهُ نُصْبَ عَيْنَيْهِ وَسَيْئَاتُهُ خَلْفَ ظَهْرِهِ وَاللهُ الْمُسْتَعَانُ
“Tanda Kebahagiaan (seorang hamba) adalah ketika ia menjadikan (amal-amal) kebaikannya di belakang punggunnya dan (amal-amal) keburukannya ia tempatkan di pelupuk matanya”.
“Sedangkan tanda kesengsaraan (seorang hamba) adalah ketika ia menjadikan (amal-amal) kebaikannya ia tempatkan di pelupuk matanya dan (amal-amal) keburukannya ia tempatkan di belakang punggunnya, Allahul Musta’an”.

Demikian nukilan berharga dari apa yang disampaikan seorang ulama yang tidak diragukan keilmuannya Ibnu Qoyyim Al Jauziyah rohimahullah. Mudah-mudahan dengan nukilan ringkas ini kita bisa mengambil pelajaran dan merubah apa yang selama ini salah pada diri kita serta mengajarkan kebenaran kepada orang di sekitar kita.

Aku memohon kapadaMu ya Allah, Ya Robbal ‘Alamin, Jagalah diriku dan orang-orang yang mencintaiMu dan NabiMu shallallahu ‘alaihi was sallam agar jika telah waktunya malaikat maut menjemput tetap tegar dalam islam, iman dan sunnah yang merupakan sebaik-bai bekal ketika bertemu denganMu, Amin Ya Mujibas Saailin.

Diterjemahkan dan diberi catatan kaki oleh,
16 Rojab 1431 H.
HambaNya yang Lemah dan Mengarap Ampunan Robbnya,
Aditya Budiman

[1] Lihat Miftah Daris Sa’adah wa Mansyur Walayati Ahli Ilmi wa Irodah oleh Ibnu Qoyyim Al Jauziyah rohimahullah dengan tahqiq Syaikh ‘Ali bin Hasan Al Halabiy hafidzahullah hal. 294-295, terbitan Dar Ibnu Affan Mesir. [2] Bukanlah yang dimaksudkan disini tidak memperhatikan cara ibadahnya, mengikuti sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam atau tidak dan lain-lain hal yang semisal dengan ini. Akan tetapi yang beliau maksudkan di sini adalah ia tidak mengingat-ingat dalam rangka menyombongkan dirinya di hadapan mahluk. Allahu A’lam pent.
[3] Agar tidak terjerumus dalam dosa yang sama pent.
[4] Perkataan di atas diriwayatkan secara marfu’ sampai kepada Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam. Ibnul Mubarok menyebutkannya dalam Az Zuhd no. 162, demikian juga Ahmad dalam Az Zuhd no. 76/I, melalui jalurnya Al Mubarok bin Fadholah dari Al Hasan secara mursal, terdapat ‘an’anah (istilah ilmu hadits) Al Mubarok dan riwayatnya hasan jika mursal. Al ‘Iroqi meyebutkan syawahid/penguat-penguatnya namun beliau mendhoifkannya dalam takhrij beliau untuk Ihya’ ‘Ulumuddin hal. 14/IV. Diriwayatkan juga oleh Ahmad secara ringkas dalam Az Zuhd no. 164, Ibnul Mubarok no. 164, Abu Nu’aim dalam Hilyatul Aulya’ hal. 158/II berupa perkataan Hasan Al Bashri. (takhrij ini kami nukil dari tahqiq dan takhrij Syaikh ‘Ali bin Hasan Al Halabiy untuk Kitab Miftah Daris Sa’adah hal. 294/II)

sumber : http://alhijroh.com/adab-akhlak/seorang-hamba-diantara-dosa-dan-ta%E2%80%99at/

Ketika semua sudah terlambat

Kultwit tanggal 19 Juni 2013 @Pejuang__Allah

1. Innalillahiwainnailaihirojiun, artinya "sesungguhnya kita semua adalah milik Allah dan kita semua akan berpulang kepadanya".

2. "orang-orang yg apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan:` Innaalillaahi wa innaa ilaihi raajiuun `.(QS. 2:156)

3. Allah memerintahkan umatNya mengucapkan kalimat tsb bkn tanpa alasan, agar kita sll ingat bahwa kelak kita akan berpulang kpd-Nya.

4. Jgnlah kira umur yg muda berarti masih bnyk waktu tersisa didunia ini.sbb kematian adalah rahasia Allah yg bs kpn saja tjd.

5. Setiap manusia pasti akan mengalami kematian. Hanya saja pertanyaannya sudah siapkah kita menghadapi kematian?

6. Knikmatan hidup membuat kita lupa bhw tdk akan selamanya hidup di dunia.Hingga tidak sedikit yg hidupnya diisi oleh hal2 yg tdk bermanfaat.

7. Tdk mampu mnyadari bhw stiap detik yg dilewati sbenarnya sangat berharga,waktu yg telah lewat tidak akan pernah bisa kembali .

8. Nantinya,yg ada hanya pnyesalan bila sebagian besar wktu kita hidup didunia diisi dgn hal2 yg tdk membawa kemaslahatan.

9. Ketika melalaikan dgn yg tdk berguna, bahkan bermaksiat pd hakekatnya sedang menggiring kpd jurang kebinasaan.

10. Karena tidak ada satu detik pun waktu terlewat melainkan ajal kian mendekat...

11. Coba tanyakan pada diri dgn jujur,seberapa banyak kita mengingat kematian selama hidup ini?

12. Jk msih sdkit segeralah ubah,kita tdk pernah tahu,kapan kematian mendatangi.Apakah mau disaat lalai kematian datang menjemput?

13. Dgn mengingat mati membuat kita seakan pny rem dr berbuat dosa.dimana & kpn saja akan senantiasa utk melakukan kebajikan utk bekal kelak.

14. Kematian merupakan satu cara yang sangat efektif untuk dapat menaklukan dan mengendalikan hawa nafsu kita.

15. “Perbanyaklah mengingat sesuatu yang melenyapkan semua kelezatan, yaitu kematian!” (HR. Tirmidzi)

16. “Org yg pling bnyk mngingat mati&paling siap mnghadapinya.Mrk itulah org2cerdas.Mrk pergi dgn mmbawa kemuliaan dunia & akhirat. HR.IbnuMajah

17. Ingatlah bagi yg pernah mrasakan situasi bahaya diantara hidup & mati,rasakan sberapa takutnya,bersyukur msih dberi ksmpatan hidup.

18. Apa lg yg dicari dlm hidup slain bnyk2 membawa bekal utk kelak sewaktu2 kita dipanggil,jgn sampai ketika itu tjd smua sdh TERLAMBAT

19.Bersihkanlah dirimu sebelum kamu dimandikan Berwudhu'lah kamu sebelum kamu diwudhu'kan
Solatlah kamu sebelum kamu disolatkan Tutuplah rambutmu sebelum rambutmu ditutupkan
Ketika sdh terlambat dmn akan ditutup kain kafan yg serba putih.Saat itu tdk guna lagi bersedih.Wlaupun org yg hadir merintih
Selepas itu kamu akan diletak di atas lantai Lalu dilaksanakanlah solat Jenazah
Dengan empat kali takbir dan satu salam Berserta Fatihah, Selawat dan doa Sebagai memenuhi tuntutan Fardhu Kifayah
Tapi apakah empat kali takbir itu dapat menebus Segala dosa meninggalkan solat sepanjang hidup?
Apakah solat Jenazah yang tanpa rukuk dan sujud Dapat membayar hutang rukuk & sujudmu yang telah luput?
Sungguh tertipulah dirimu jk beranggapan demikian.Saudaraku Muslimin dan Muslimat segeralah Usung dirimu ke tikar solat
Sebelum kamu diusung ke liang lahad Menjadi makanan cacing dan mamahan ulat
Iringilah dirimu ke masjid Sebelum kamu diiringi ke Pusara
Tangisilah dosa-dosamu di dunia Karana tangisan tidak berguna di alam baqa'
Sucikanlah dirimu sebelum kamu disucikan Sadarlah sebelum kamu disadarkan Dengan panggilan 'Izrail yang menakutkan
Berimanlah sebelum kamu ditalkinkan.Beristighfarlah sebelum kamu diistighfarkan.Namun ketika itu istighfar tdk menyelamatkan
Bila Dia menyeru,sambutlah seruan-Nya. Sebelum Dia memanggilmu buat kali yang terakhirnya
Ingatlah yg kekal ialah amal Menjadi bekal sepanjang jalan Menjadi teman di perjalanan Guna kembali ke pangkuan Tuhan

20. Smoga kelak ucapan kita di akhir napas menyebut “Laa ilaaha illallah"

21.  “Barangsiapa yang akhir ucapannya adalah Laa ilaaha illallah, ia akan masuk surga.” (HR. Al Hakim)

Senin, 17 Juni 2013

Bagaimana berjilbab Syari

Oleh :Ust. M. Shiddiq Al Jawi  


1. Pengantar
Banyak kesalahpahaman terhadap Islam di tengah masyarakat. Misalnya saja jilbab. Tak sedikit orang menyangka bahwa yang dimaksud dengan jilbab adalah kerudung. Padahal tidak demikian. Jilbab bukan kerudung. Kerudung dalam Al Qur`an surah An Nuur : 31 disebut dengan istilah khimar (jamaknya : khumur), bukan jilbab. Adapun jilbab yang terdapat dalam surah Al Ahzab : 59, sebenarnya adalah baju longgar yang menutupi seluruh tubuh perempuan dari atas sampai bawah.

Kesalahpahaman lain yang sering dijumpai adalah anggapan bahwa busana muslimah itu yang penting sudah menutup aurat, sedang mode baju apakah terusan atau potongan, atau memakai celana panjang, dianggap bukan masalah. Dianggap, model potongan atau bercelana panjang jeans oke-oke saja, yang penting ˜kan sudah menutup aurat. Kalau sudah menutup aurat, dianggap sudah berbusana muslimah secara sempurna. Padahal tidak begitu. Islam telah menetapkan syarat-syarat bagi busana muslimah dalam kehidupan umum, seperti yang ditunjukkan oleh nash-nash Al Qur`an dan As Sunnah. Menutup aurat itu hanya salah satu syarat, bukan satu-satunya syarat busana dalam kehidupan umum. Syarat lainnya misalnya busana muslimah tidak boleh menggunakan bahan tekstil yang transparan atau mencetak lekuk tubuh perempuan. Dengan demikian, walaupun menutup aurat tapi kalau mencetak tubuh alias ketat atau menggunakan bahan tekstil yang transparan-- tetap belum dianggap busana muslimah yang sempurna.

Karena itu, kesalahpahaman semacam itu perlu diluruskan, agar kita dapat kembali kepada ajaran Islam secara murni serta bebas dari pengaruh lingkungan, pergaulan, atau adat-istiadat rusak di tengah masyarakat sekuler sekarang. Memang, jika kita konsisten dengan Islam, terkadang terasa amat berat. Misalnya saja memakai jilbab (dalam arti yang sesungguhnya). Di tengah maraknya berbagai mode busana wanita yang diiklankan trendi dan up to date, jilbab secara kontras jelas akan kelihatan ortodoks, kaku, dan kurang trendi (dan tentu, tidak seksi). Padahal, busana jilbab itulah pakaian yang benar bagi muslimah.

Di sinilah kaum muslimah diuji. Diuji imannya, diuji taqwanya. Di sini dia harus memilih, apakah dia akan tetap teguh mentaati ketentuan Allah dan Rasul-Nya, seraya menanggung perasaan berat hati namun berada dalam keridhaan Allah, atau rela terseret oleh bujukan hawa nafsu atau rayuan syaitan terlaknat untuk mengenakan mode-mode liar yang dipropagandakan kaum kafir dengan tujuan agar kaum muslimah terjerumus ke dalam limbah dosa dan kesesatan.

Berkaitan dengan itu, Nabi SAW pernah bersabda bahwa akan tiba suatu masa di mana Islam akan menjadi sesuatu yang asing “termasuk busana jilbab-- sebagaimana awal kedatangan Islam. Dalam keadaan seperti itu, kita tidak boleh larut. Harus tetap bersabar, dan memegang Islam dengan teguh, walaupun berat seperti memegang bara api. Dan in sya-allah, dalam kondisi yang rusak dan bejat seperti ini, mereka yang tetap taat akan mendapat pahala yang berlipat ganda. Bahkan dengan pahala lima puluh kali lipat daripada pahala para shahabat. Sabda Nabi SAW :
"Islam bermula dalam keadaan asing. Dan ia akan kembali menjadi sesuatu yang asing. Maka beruntunglah orang-orang yang terasing itu." (HR. Muslim no. 145)

"Sesungguhnya di belakang kalian ada hari-hari yang memerlukan kesabaran. Kesabaran pada masa-masa itu bagaikan memegang bara api. Bagi orang yang mengerjakan suatu amalan pada saat itu akan mendapatkan pahala lima puluh orang yang mengerjakan semisal amalan itu. Ada yang berkata,"Hai Rasululah, apakah itu pahala lima puluh di antara mereka ?"Rasululah SAW menjawab,"Bahkan lima puluh orang di antara kalian (para shahabat)." (HR. Abu Dawud, dengan sanad hasan)
2. Aurat dan Busana Muslimah
Ada 3 (tiga) masalah yang sering dicampuradukkan yang sebenarnya merupakan masalah-masalah yang berbeda-beda.
Pertama, masalah batasan aurat bagi wanita.
dua, busana muslimah dalam kehidupan khusus (al hayah al khashshash), yaitu tempat-tempat di mana wanita hidup bersama mahram atau sesama wanita, seperti rumah-rumah pribadi, atau tempat kost.
Ketiga, busana muslimah dalam kehidupan umum (al hayah ‘ammah), yaitu tempat-tempat di mana wanita berinteraksi dengan anggota masyarakat lain secara umum, seperti di jalan-jalan, sekolah, pasar, kampus, dan sebagainya. Busana wanita muslimah dalam kehidupan umum ini terdiri dari jilbab dan khimar.

a. Batasan Aurat Wanita
Aurat wanita adalah seluruh anggota tubuhnya kecuali wajah dan dua telapak tangannya. Lehernya adalah aurat, rambutnya juga aurat bagi orang yang bukan mahram, meskipun cuma selembar. Seluruh tubuh kecuali wajah dan dua telapak tangan adalah aurat yang wajib ditutup. Hal ini berlandaskan firman Allah SWT :
'Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.' (QS An Nuur : 31)
Yang dimaksud "wa laa yubdiina ziinatahunna"(janganlah mereka menampakkan perhiasannya), adalah "wa laa yubdiina mahalla ziinatahinna" (janganlah mereka menampakkan tempat-tempat (anggota tubuh) yang di situ dikenakan perhiasan). (Lihat Abu Bakar Al-Jashshash, Ahkamul Qur`an, Juz III hal. 316).

Selanjutnya, "illa maa zhahara minha" (kecuali yang (biasa) nampak dari padanya). Jadi ada anggota tubuh yang boleh ditampakkan. Anggota tubuh tersebut, adalah wajah dan dua telapak tangan. Demikianlah pendapat sebagian shahabat, seperti ˜Aisyah, Ibnu Abbas, dan Ibnu Umar (Al-Albani, 2001 : 66). Ibnu Jarir Ath-Thabari (w. 310 H) berkata dalam kitab tafsirnya Jami Al-Bayan fi Tafsir Al-Qur`an Juz XVIII hal. 84, mengenai apa yang dimaksud dengan kecuali yang (biasa) nampak dari padanya (illaa maa zhahara minha) : Pendapat yang paling mendekati kebenaran adalah yang mengatakan,Yang dimaksudkan adalah wajah dan dua telapak tangan. Pendapat yang sama juga dinyatakan Imam Al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya Al-Jami li Ahkam Al-Qur`an, Juz XII hal. 229 (Al-Albani, 2001 : 50 & 57).

Jadi, yang dimaksud dengan apa yang nampak dari padanya adalah wajah dan dua telapak tangan. Sebab kedua anggota tubuh inilah yang biasa nampak dari kalangan muslimah di hadapan Nabi SAW sedangkan beliau mendiamkannya. Kedua anggota tubuh ini pula yang nampak dalam ibadah-ibadah seperti haji dan shalat. Kedua anggota tubuh ini biasa terlihat di masa Rasulullah SAW, yaitu di masa masih turunnya ayat Al Qur`an (An-Nabhani, 1990 : 45). Di samping itu terdapat alasan lain yang menunjukkan bahwasanya seluruh tubuh wanita adalah aurat kecuali wajah dan dua telapak tangan karena sabda Rasulullah SAW kepada Asma` binti Abu Bakar :
'Wahai Asma` sesungguhnya seorang wanita itu apabila telah baligh (haidl) maka tidak boleh baginya menampakkan tubuhnya kecuali ini dan ini, seraya menunjukkan wajah dan telapak tangannya.' (HR. Abu Dawud)

Inilah dalil-dalil yang menunjukkan dengan jelas bahwasanya seluruh tubuh wanita itu adalah aurat, kecuali wajah dan dua telapak tangannya. Maka diwajibkan atas wanita untuk menutupi auratnya, yaitu menutupi seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangannya.

b. Busana Muslimah dalam Kehidupan Khusus
Adapun dengan apa seorang muslimah menutupi aurat tersebut, maka di sini syara tidak menentukan bentuk/model pakaian tertentu untuk menutupi aurat, akan tetapi membiarkan secara mutlak tanpa menentukannya dan cukup dengan mencantumkan lafadz dalam firman-Nya (QS An Nuur : 31) "wa laa yubdiina" (Dan janganlah mereka menampakkan) atau sabda Nabi SAW "lam yashluh an yura minha" (tidak boleh baginya menampakkan tubuhnya) (HR. Abu Dawud).

Jadi, pakaian yang menutupi seluruh auratnya kecuali wajah dan telapak tangan dianggap sudah menutupi, walau bagaimana pun bentuknya. Dengan mengenakan daster atau kain yang panjang juga dapat menutupi, begitu pula celana panjang, rok, dan kaos juga dapat menutupinya. Sebab bentuk dan jenis pakaian tidak ditentukan oleh syara.

Berdasarkan hal ini maka setiap bentuk dan jenis pakaian yang dapat menutupi aurat, yaitu yang tidak menampakkan aurat dianggap sebagai penutup bagi aurat secara syar'i, tanpa melihat lagi bentuk, jenis, maupun macamnya.

Namun demikian syara' telah mensyaratkan dalam berpakaian agar pakaian yang dikenakan dapat menutupi kulit. Jadi pakaian harus dapat menutupi kulit sehingga warna kulitnya tidak diketahui. Jika tidak demikian, maka dianggap tidak menutupi aurat. Oleh karena itu apabila kain penutup itu tipis/transparan sehingga nampak warna kulitnya dan dapat diketahui apakah kulitnya berwarna merah atau coklat, maka kain penutup seperti ini tidak boleh dijadikan penutup aurat.
Mengenai dalil bahwasanya syara' telah mewajibkan menutupi kulit sehingga tidak diketahui warnanya, adalah hadits yang diriwayatkan dari Aisyah RA bahwasanya Asma` binti Abubakar telah masuk ke ruangan Nabi SAW dengan berpakaian tipis/transparan, lalu Rasulullah SAW berpaling seraya bersabda :
'Wahai Asma` sesungguhnya seorang wanita itu apabila telah baligh (haidl) tidak boleh baginya untuk menampakkan tubuhnya kecuali ini dan ini.' (HR. Abu Dawud)

Jadi Rasulullah SAW menganggap kain yang tipis itu tidak menutupi aurat, malah dianggap menyingkapkan aurat. Oleh karena itu lalu Nabi SAW berpaling seraya memerintahkannya menutupi auratnya, yaitu mengenakan pakaian yang dapat menutupi.
Dalil lainnya juga terdapat dalam hadits riwayat Usamah bin Zaid, bahwasanya ia ditanyai oleh Nabi SAW tentang Qibtiyah (baju tipis) yang telah diberikan Nabi SAW kepada Usamah. Lalu dijawab oleh Usamah bahwasanya ia telah memberikan pakaian itu kepada isterinya, maka Rasulullah SAW bersabda kepadanya :
"Suruhlah isterimu mengenakan baju dalam di balik kain Qibtiyah itu, karena sesungguhnya aku khawatir kalau-kalau nampak lekuk tubuhnya."(HR. Ahmad dan Al-Baihaqi, dengan sanad hasan. Dikeluarkan oleh Adh-Dhiya dalam kitab Al-Ahadits Al-Mukhtarah, Juz I hal. 441) (Al-Albani, 2001 : 135).

Qibtiyah adalah sehelai kain tipis. Oleh karena itu tatkala Rasulullah SAW mengetahui bahwasanya Usamah memberikannya kepada isterinya, beliau memerintahkan agar dipakai di bagian dalam kain supaya tidak kelihatan warna kulitnya dilihat dari balik kain tipis itu, sehingga beliau bersabda : 'Suruhlah isterimu mengenakan baju dalam di balik kain Qibtiyah itu.'

Dengan demikian kedua hadits ini merupakan petunjuk yang sangat jelas bahwasanya syara' telah mensyaratkan apa yang harus ditutup, yaitu kain yang dapat menutupi kulit. Atas dasar inilah maka diwajibkan bagi wanita untuk menutupi auratnya dengan pakaian yang tidak tipis sedemikian sehingga tidak tergambar apa yang ada di baliknya.

c. Busana Muslimah dalam Kehidupan Umum
Pembahasan poin b di atas adalah topik mengenai penutupan aurat wanita dalam kehidupan khusus. Topik ini tidak dapat dicampuradukkan dengan pakaian wanita dalam kehidupan umum, dan tidak dapat pula dicampuradukkan dengan masalah tabarruj pada sebagian pakaian-pakaian wanita.
Jadi, jika seorang wanita telah mengenakan pakaian yang menutupi aurat, tidak berarti lantas dia dibolehkan mengenakan pakaian itu dalam kehidupan umum, seperti di jalanan umum, atau di sekolah, pasar, kampus, kantor, dan sebagainya. Mengapa ? Sebab untuk kehidupan umum terdapat pakaian tertentu yang telah ditetapkan oleh syara.

Jadi dalam kehidupan umum tidaklah cukup hanya dengan menutupi aurat, seperti misalnya celana panjang, atau baju potongan, yang sebenarnya tidak boleh dikenakan di jalanan umum meskipun dengan mengenakan itu sudah dapat menutupi aurat.

Seorang wanita yang mengenakan celana panjang atau baju potongan memang dapat menutupi aurat. Namun tidak berarti kemudian pakaian itu boleh dipakai di hadapan laki-laki yang bukan mahram, karena dengan pakaian itu ia telah menampakkan keindahan tubuhnya (tabarruj). Tabarruj adalah, menempakkan perhiasan dan keindahan tubuh bagi laki-laki asing/non-mahram (izh-haruz ziinah wal mahasin lil ajaanib) (An-Nabhani, 1990 : 104). Oleh karena itu walaupun ia telah menutupi auratnya, akan tetapi ia telah bertabarruj, sedangkan tabarruj dilarang oleh syara.

Pakaian wanita dalam kehidupan umum ada 2 (dua), yaitu baju bawah (libas asfal) yang disebut dengan jilbab, dan baju atas (libas a'la) yaitu khimar (kerudung). Dengan dua pakaian inilah seorang wanita boleh berada dalam kehidupan umum, seperti di kampus, supermarket, jalanan umum, kebun binatang, atau di pasar-pasar.

Apakah pengertian jilbab ? Dalam kitab Al Mu'jam Al Wasith karya Dr. Ibrahim Anis (Kairo : Darul Maarif) halaman 128, jilbab diartikan sebagai Ats tsaubul musytamil alal jasadi kullihi (pakaian yang menutupi seluruh tubuh), atau Ma yulbasu fauqa ats tsiyab kal milhafah (pakaian luar yang dikenakan di atas pakaian rumah, seperti milhafah (baju terusan), atau Al Mula`ah tasytamilu biha al mar`ah (pakaian luar yang digunakan untuk menutupi seluruh tubuh wanita).

Jadi jelaslah, bahwa yang diwajibkan atas wanita adalah mengenakan kain terusan (dari kepala sampai bawah) (Arab : milhafah/mula`ah) yang dikenakan sebagai pakaian luar (di bawahnya masih ada pakaian rumah, seperti daster, tidak langsung pakaian dalam) lalu diulurkan ke bawah hingga menutupi kedua kakinya.

Untuk baju atas, disyariatkan khimar, yaitu kerudung atau apa saja yang serupa dengannya yang berfungsi menutupi seluruh kepala, leher, dan lubang baju di dada. Pakaian jenis ini harus dikenakan jika hendak keluar menuju pasar-pasar atau berjalan melalui jalanan umum (An-Nabhani, 1990 : 48).
Apabila ia telah mengenakan kedua jenis pakaian ini (jilbab dan khimar) dibolehkan baginya keluar dari rumahnya menuju pasar atau berjalan melalui jalanan umum, yaitu menuju kehidupan umum. Akan tetapi jika ia tidak mengenakan kedua jenis pakaian ini maka dia tidak boleh keluar dalam keadaan apa pun, sebab perintah yang menyangkut kedua jenis pakaian ini datang dalam bentuk yang umum, dan tetap dalam keumumannya dalam seluruh keadaan, karena tidak ada dalil yang mengkhususkannya.

Dalil mengenai wajibnya mengenakan dua jenis pakaian ini, karena firman Allah SWT mengenai pakaian bagian bagian atas (khimar/kerudung) :
"Hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya." (QS An Nuur : 31)

Dan karena firman Allah SWT mengenai pakaian bagian bawah (jilbab) :
'Wahai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu'min: 'Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya.' (QS Al Ahzab : 59)

Adapun dalil bahwa jilbab merupakan pakaian dalam kehidupan umum, adalah hadits yang diriwayatkan dari Ummu 'Athiah RA, bahwa dia berkata :
"Rasulullah SAW memerintahkan kaum wanita agar keluar rumah menuju shalat Ied, maka Ummu Athiyah berkata,"Salah seorang di antara kami tidak memiliki jilbab?" Maka Rasulullah SAW menjawab: 'Hendaklah saudarinya meminjamkan jilbabnya kepadanya!"(Muttafaqun alaihi) (Al-Albani, 2001 : 82).

Berkaitan dengan hadits Ummu Athiyah ini, Syaikh Anwar Al-Kasymiri, dalam kitabnya Faidhul Bari, Juz I hal. 388, mengatakan : Dapatlah dimengerti dari hadits ini, bahwa jilbab itu dituntut manakala seorang wanita keluar rumah, dan ia tidak boleh keluar [rumah] jika tidak mengenakan jilbab.(Al-Albani, 2001 : 93).

Dalil-dalil di atas tadi menjelaskan adanya suatu petunjuk mengenai pakaian wanita dalam kehidupan umum. Allah SWT telah menyebutkan sifat pakaian ini dalam dua ayat di atas yang telah diwajibkan atas wanita agar dikenakan dalam kehidupan umum dengan perincian yang lengkap dan menyeluruh. Kewajiban ini dipertegas lagi dalam hadits dari Ummu 'Athiah RA di atas, yakni kalau seorang wanita tak punya jilbab “untuk keluar di lapangan sholat Ied (kehidupan umum)”maka dia harus meminjam kepada saudaranya (sesama muslim). Kalau tidak wajib, niscaya Nabi SAW tidak akan memerintahkan wanita mencari pinjaman jilbab.

Untuk jilbab, disyaratkan tidak boleh potongan, tetapi harus terulur sampai ke bawah sampai menutup kedua kaki, sebab Allah SWT mengatakan : yudniina alaihinna min jalabibihinna (Hendaklah mereka mengulurkan jilbab-jilbab mereka.).

Dalam ayat tersebut terdapat kata yudniina yang artinya adalah yurkhiina ila asfal (mengulurkan sampai ke bawah/kedua kaki). Penafsiran ini “yaitu idnaa` berarti irkhaa` ila asfal-- diperkuat dengan dengan hadits Ibnu Umar bahwa dia berkata, Rasulullah SAW telah bersabda :
"Barang siapa yang melabuhkan/menghela bajunya karena sombong, maka Allah tidak akan melihatnya pada Hari Kiamat nanti." Lalu Ummu Salamah berkata,"Lalu apa yang harus diperbuat wanita dengan ujung-ujung pakaian mereka (bi dzuyulihinna). Nabi SAW menjawab,"Hendaklah mereka mengulurkannya (yurkhiina) sejengkal (syibran)"(yakni dari separoh betis). Ummu Salamah menjawab,"Kalau begitu, kaki-kaki mereka akan tersingkap." Lalu Nabi menjawab,"Hendaklah mereka mengulurkannya sehasta (fa yurkhiina dzira`an) dan jangan mereka menambah lagi dari itu." (HR. At-Tirmidzi Juz III, hal. 47; hadits sahih) (Al-Albani, 2001 : 89)

Hadits di atas dengan jelas menunjukkan bahwa pada masa Nabi SAW, pakaian luar yang dikenakan wanita di atas pakaian rumah --yaitu jilbab-- telah diulurkan sampai ke bawah hingga menutupi kedua kaki.

Berarti jilbab adalah terusan, bukan potongan. Sebab kalau potongan, tidak bisa terulur sampai bawah. Atau dengan kata lain, dengan pakaian potongan seorang wanita muslimah dianggap belum melaksanakan perintah "yudniina alaihinna min jalaabibihina" (Hendaklah mereka mengulurkan jilbab-jilbabnya). Di samping itu kata min dalam ayat tersebut bukan min lit tabidh (yang menunjukkan arti sebagian) tapi merupakan min lil bayan (menunjukkan penjelasan jenis). Jadi artinya bukanlah "Hendaklah mereka mengulurkan sebagian jilbab-jilbab mereka" (sehingga boleh potongan), melainkan Hendaklah mereka mengulurkan jilbab-jilbab mereka (sehingga jilbab harus terusan).(An-Nabhani, 1990 : 45-51)
3. Penutup
Dari penjelasan di atas jelas bahwa wanita dalam kehidupan umum wajib mengenakan baju terusan yang longgar yang terulur sampai ke bawah yang dikenakan di atas baju rumah mereka. Itulah yang disebut dengan jilbab dalam Al Qur`an.
Jika seorang wanita muslimah keluar rumah tanpa mengenakan jilbab seperti itu, dia telah berdosa, meskipun dia sudah menutup auratnya. Sebab mengenakan baju yang longgar yang terulur sampai bawah adalah fardlu hukumnya. Dan setiap pelanggaran terhadap yang fardlu dengan sendirinya adalah suatu penyimpangan dari syariat Islam di mana pelakunya dipandang berdosa di sisi Allah. [ ]
DAFTAR BACAAN
Al-Albani, Muhammad Nashiruddin. 2001. Jilbab Wanita Muslimah Menurut Al-Qur`an dan As Sunnah (Jilbab Al-Mar`ah Al-Muslimah fi Al-Kitab wa As-Sunnah). Alih Bahasa Hawin Murtadlo & Abu Sayyid Sayyaf. Cetakan ke-6. (Solo : At-Tibyan). ----------. 2002. Ar-Radd Al-Mufhim Hukum Cadar (Ar-Radd Al-Mufhim ‘Ala Man Khalafa Al-‘Ulama wa Tasyaddada wa Ta’ashshaba wa Alzama Al-Mar`ah bi Satri Wajhiha wa Kaffayha wa Awjaba). Alih Bahasa Abu Shafiya. Cetakan ke-1. (Yogyakarta : Media Hidayah).
Al-Baghdadi, Abdurrahman. 1998. Emansipasi Adakah dalam Islam Suatu Tinjauan Syariat Islam Tentang Kehidupan Wanita. Cetakan ke-10. (Jakarta : Gema Insani Press).
Ali, Wan Muhammad bin Muhammad. Al-Hijab. Alih bahasa Supriyanto Abdullah. Cetakan ke-1. (Yogyakarta : Ash-Shaff).
Ambarwati, K.R. & M. Al-Khaththath. 2003. Jilbab Antara Trend dan Kewajiban. Cetakan Ke-1. (Jakarta : Wahyu Press).
Anis, Ibrahim et.al. 1972. Al-Mu’jamul Wasith. Cet. 2. (Kairo : Darul Ma’arif)
An-Nabhani, Taqiyuddin. 1990. An-Nizham Al-Ijtima’i fi Al-Islam. Cetakan ke-3. (Beirut : Darul Ummah).
Ath-Thayyibiy, Achmad Junaidi. 2003. Tata Kehidupan Wanita dalam Syariat Islam. Cetakan ke-1. (Jakarta : Wahyu Press).
Bin Baz, Syaikh Abdul Aziz et.al. 2000. Fatwa-Fatwa Tentang Memandang, Berkhalwat, dan Berbaurnya Pria dan Wanita (Fatawa An-Nazhar wa al-Khalwah wa Al-Ikhtilath). Alih Bahasa Team At-Tibyan. Cetakan ke-5. (Solo : At-Tibyan).
Taimiyyah, Ibnu. 2000. Hijab dan Pakaian Wanita Muslimah dalam Sholat (Hijab Al-Mar`ah wa Libasuha fi Ash-Shalah). Ditahqiq Oleh Muhammad Nashiruddin Al-Albani. Alih Bahasa Hawin Murtadlo. Cetakan ke-2. (Solo : At-Tibyan).

sumber : http://khilafah1924.org/index.php?option=com_content&task=view&id=92

Rabu, 12 Juni 2013

Keyakinan yang Utuh

"Aku khawatir terhadap suatu masa yang rodanya dapat menggilas keimanan, ketika KEYAKINAN hanya tinggal PEMIKIRAN yang tak berbekas dalam PERBUATAN"Ali bin Abi Thalib r.a.






Banyak org baik ttp TAK BERAKAL,sementara yg berakal TAK BERIMAN.
Ada lidah fasih,ttp HATINYA LALAI,smntr yg khusyuk sibuk dlm KESENDIRIAN.
Ada ahli ibadah,ttp mewarisi KESOMBONGAN IBLIS,sementara ahli maksiat RENDAH HATI bagai sufi.
Ada yg bnyk tertawa hingga hatinya BERKARAT,smntara bnyk yg menangis krn KUFUR NIKMAT.
Banyak yg murah senyum tp HATINYA MENGUMPAT, sementara yg hatinya tulus WAJAHNYA CEMBERUT.
Ada yg punya ilmu ttp TAK PAHAM, sementara yg paham TIDAK MENGAMALKANNYA.
Ada yg pintar tp MEMBODOHI, sementara yg bodoh TIDAK TAHU DIRI.
Ada yg beragama tp TAK BERAKHLAK, sementara yang berakhlah TAK BERTUHAN.


Macam Hati Manusia

Kultwit tanggal 3 Mei 2013 @Pejuang__Allah

Diriwayatkan Hudzaifah bin Al-Yaman Ra,bhw hati manusia itu ada 4 macam /jenis #Hati

1.Hati Murni,didlmnya ada PELITA yg menyala (pelita iman),itulah hati orang MUKMIN,hati yg bbs dr slain Allah & Rasul-Nya. #Hati

Murni terbebas dr berbagai hal batil & syahwat sesat,ia peroleh pelita yg mnyinarinya dgn cahaya ilmu & iman #Hati


2.Hati yg tertutup,itulah #Hati yg kafir.berada dlm sampul & pnutup.tdk sampai cahaya ilmu & iman kedlmnya.ia adlh hati yg mati
 
Penutup itu Allah tptkan diatas hati mrk sbg siksaan krn penolakan mrk thdp kebenaran & kecongkakan.sbg dinding yg mntupi dr pnglhtan #Hati 
 
3.Hati yg terbalik,itulah hati org munafik,ia mngtahui Kebenaran ttp mengingkarinya,ia melihat tapi BUTA. #Hati 
 
4.Hati yg trdiri dr 2 materi: iman & kemunafikan.mana yg menang dlm prgulatan itulah yg menguasai. #Hati
 
Semoga Allah SWT mjdkan kita memiliki hati MURNI,yg didlmnya trdpt pelita,yg mnyinari krn adanya ilmu dan iman. آمِيّنْ. #Hati
 

3 Pertanyaan mendasar kita sebagai manusia

Kultwit tanggal 27 Mei 2013 @Pejuang__Allah

Perintah2 Allah bnyk dr kita yg hny sebatas mengetahui saja, blm sampai pd tahap paham/

Contoh yg sering tjd spt tau bhw ghibah (gosip) itu dilarang,jk dilakukan mjd dosa | namun msh dilakukan krn blm

"Kan ngomongin kebenarannya mmg gt" klo benar mjd ghibah,klo salah (biasanya bnyk bumbu2nya) jatuh jg tambah mjd fitnah

Dan msh bnyk perintah2Nya yg jelas kita ketahui tp dianggap angin lalu saja krn kita tdk benar2 memahami /

Utk mjd paham/ dbtuhkan pemikiran yg menyeluruh tdk setengah2,inilah yg membuat ayat2 Allah mjd disanksikan

Terkait perintah Allah SWT msk dlm kaidah keimanan,smakin mengimani & meyakini brati tnd smakin tinggi pemahamannya

Utk jalan menuju ketebalan iman diperlukan 3 ptnyaan mendasar yg hrs dicari jwbannya

1.Dari mana kita berasal? 2.untuk apa kita didunia ini? 3.akan kemana setelah mati?

1.DrMnManusiaBerasal?Meyakini bhw Allah SWT mnciptakan kita.(Jgn smpai akidah dsesatkan oleh teori CharlesDarwin mns asal dr monyet)
Bhkan kaum sosialis beranggapan bhw Tuhan itu bkn menciptakan manusia.tp manusialah yg membuat pemikiran adnya Tuhan
"Hai manusia sembahlah Tuhanmu yg tlh mncptakan kalian & org2 sblm kalian,agar kalian bertakwa"QS.Al Baqarah:21

2.UtkApaManusiaHidup?Manusia didunia adlh utk beribadah kpd Allah.ibadah artnya TAAT,patuh/tunduk,jlnkan perintahNya & jauhi lrngan
"Dan aku tdk mnciptakan jin & manusia mlainkan spy mrk mnyembah (beribadah) kepadaKu"QS.Adz Dzariyaat:56

3.KmnManusiaStelahMati?Stelah kmatian akan ada khidupan akhirat,yg mau tdk mau pst dilalui manusia dgn 2 plihan tpt: SURGA / NERAKA
"Kmudian,ssdh itu,ssngguhny km sklian bnr2 akan mati.kmudian,ssunguhny km sklian akan dbngkitkan dr kburmu di hari KIAMAT"QS.AlMukminun:15
 Pilihan SURGA/NERAKA ditentukan saat manusia hdp didunia.dunia-akhirat adlh 1 kesatuan siapa baik/taat didunia slamatlah diakhrat
Ibarat ingin dptkan rezeki dbutuhkan kerja sbg ikhtiar serta doa.bgtu jg jk ingin keSURGA-NYA dbthkan pngorbanan brupa ketaatan
Akhirat itu kekal abadi,bkn hny 1000thn,1Milyar,1trilyun,tapi SELAMANYA!
Jgn kita gadaikan hdp didunia yg singkat ini (rata2 manusia hidup 70thn) dgn kekalnya akhirat yg kekal selamanya

"Dia mngtakan,'Alangkah baiknya kiranya aku dahulu mngerjakan (amal saleh) utk hdpku ini'."QS.Al Fajr:24

"Azab yg pling ringan diNeraka pd hr Kiamat adlh seseorg pd 2tlapak kakinya ada 2bara api,lalu bara api ini merebus otak org tsb"HR.Tirmidzi

"Alif laam miim.Kitab (Al Quran) ini tdk ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yg bertaqwa" QS.Al Baqarah:1-2

semoga kita menjadi umat yg tidak hanya sekedar tahu, tapi paham dgn mematuhi stiap jalanNya,sbg konsekuensi iman

Amal yang tertolak

Allah menciptakan tujuh malaikat sebelum dia menciptakan langit dan bumi. Di setiap langit ada satu malaikat yang menjaga pintu.

Ibnu Mubarak mengatakan bahwa Khalid bin Ma,dan bin Jabal RA.”Ceritakanlah satu hadits yang kau dengar dari Rasulullah SAW, yang kau menghafalnya dan setiap hari kau mengingatnya lantaran saking keras, halus, dan dalamnya makna hadits tersebut. Hadits manakah yang yang menurut pendapatmu paling penting ? Mu’adz menjawab. “Baiklah akan kuceritakan. Sesaat kemudian, ia pun menangis hingga lama sekali, lalu ia bertutur,”Hmm, sungguh kangennya hati ini kepada Rasulullah SAW, ingin rasanya segera bersua dengan beliau. Dia melanjutkan, suatu saat aku menghadap Rasulullah SAW. Beliau menuggangi seekor unta dan menyuruhku naik dibelakangnya, maka berangkatlah kami dengan unta tersebut. kemudian beliau menengadahkan wajahnya ke langit, dan berdoa ” Puji syukur ke hadirat Allah, yang Maha berkehendak kepada makhluq-Nya menurut kehendak-Nya.” Kemudian Rasulullah SAW berkata, ” Sekarang aku akan mengisahkan satu cerita kepadamu yang, apabila engkau hafalkan, akan berguna bagimu, tapi kalau engkau sepelekan, engkau tidak akan mempunyai hujjah kelak dihadapan Allah SWT.”

Amal yang Tertolak.
“Hai Mu’adz! Allah menciptakan tujuh malaikat sebelum Dia menciptakan langit dan bumi. Pada setiap langit ada satu malaikat yang menjaga pintu, dan tiap-tiap pintu langit itu dijaga oleh malaikat penjaga pintu sesuai kadar pintu dan keagungannya. Maka, malaikat hafazhah (malaikat yang memelihara dan mencatat amal seseorang) naik ke langit dengan membawa amal seseorang yang cahayanya bersinar-sinar bagaikan cahaya matahari. Ia, yang menganggap amal orang tersebut itu banyak, mamuji amal-amal orang itu. Tapi sampai di pintu langit pertama, berkata malaikat penjaga pintu langit itu kepada malaikat hafazhah, ” Tamparkanlah amal ini kewajah pemiliknya, aku ini penjaga tukang pengumpat, akau diperintahkan untuk tidak menerima masuk tukang mengumpat orang lain, jangan sampai amal ini melewatiku untuk mencapai langit berikutnya.”  Keesokan harinya, ada lagi malaikat hafazhah yang naik ke langit dengan membawa amal shalih seorang lainnya yang cahayanya berkilauan, ia juga memuji lantaran begitu banyaknya amal tersebut. Namun malaikat langit kedua mengatakan. “Berhentilah, dan tamparkan amal ini kewajah pemiliknya, sebab dengan amalnya itu dia mengharap keduniaan. Allah memerintahkanku untuk menahan amal ini, jangan sampai lewat hingga langit berikutnya.” Maka seluruh malaikat pun melaknat orang tersebut sampai sore hari.

Kemudian ada lagi malaikat hafazhah yang naik ke langit dengan membawa amal hamba Allah yang sangat memuaskan, penuh amal sedekah, puasa dan bermacam-macam kebaikan yang oleh malaikat hafazhah dianggap demikian banyak dan terpuji. Namun saat sampai dilangit ketiga, berkata malaikat penjaga pintu langit yang ketiga, ” Tamparkan amal ini kewajah pemiliknya, aku malaikat penjaga orang yang sombong. Allah memerintahkan untuk tidak menerima orang sombong masuk. Jangan sampai amal ini melewatiku untuk mencapai langit berikutnya. Salahnya sendiri ia menyombongkan diri di tengah-tengah orang lain.” Kemudian ada lagi malaikat hafazhah yang naik ke langit keempat, membawa amal seseorang yang bersinar bagaikan bintang yang paling besar, suaranya bergemuruh, penuh dengan tasbih, puasa, shalat, naik haji, dan umrah. Tapi ketika sampai di langit keempat, malaikat penjaga pintu langit keempat mengatakan kepada malaikat hafazhah. ” Berhentilah, jangan dilanjutkan. Tamparkan amal ini kewajah pemiliknya, aku ini penjaga orang-orang yang suka ujub (membangga-banggakan diri). Aku diperintahkan untuk tidak menerima masuk amal tukang ujub. Jangan sampai amal itu melewatiku untu mencapai langit yang berikutnya, sebab ia kalau beramal selalu ujub.”

Kemudian naik lagi malaikat hafazhah ke langit kelima, membawa amal hamba yang diarak bagaikan pengantin wanita diiring kepada suaminya, amal yang begitu bagus seperti amal jihad, ibadah haji, ibadah umrah. Cahaya amal itu bagaikan matahari. Namun, begitu sampai di langit kelima, berkata malaikat penjaga pintu langit kelima, “Aku ini penjaga sifat hasud (dengki,iri hati). Pemilik amal ini, yang amalnya sedemikian bagus, suka hasud kepada orang lain atas kenikmatan yang Allah berikan kepadanya. Sungguh ia benci kepada apa yang diridhai Allah SWT. Saya diperintahkan agar tidak membiarkan amal orang seperti ini untuk melewati pintuku menuju pintu selanjutnya.” Kemudian ada lagi mal;aikat hafazhah dengan membawa amal lain berupa wudhu yang sempurna, shalat yang banyak, puasa, haji, dan umrah. Tapi saat di langit keenam, malaikat ini mengatakan, “Aku ini malaikat penjaga rahmat. Amal yang seolah-olah bagus ini, tamparkanlah ke wajah pemiliknya. Salah sendiri ia tidak pernah mengasihi orang. Apabila orang lain yang mendapat musibah. ia merasa senang. Aku diperintahkan agar amal seperti ini tidak melewatiku hingga dapat sampai pintu berikutnya.” 

Kemudian ada lagi malaikat hafazhah naik ke langit ketujuh dengan membawa amal seorang hamba berupa bermacam-macam sedekah, puasa, shalat, jihad, dan kewara’an. Suaranya pun bergemuruh bagaikan geledek. Cahayanya bagaikan kilat. Namun tatkala sampai di langit ke tujuh, malaikat penjaga langit ke tujuh mengatakan, ” Aku ini penjaga sum’at (ingin terkenal). Sesunguhnya orang ini ingin dikenal dalam kumpulan-kumpulan, selalu ingin terlihat lebih unggul di saat berkumpul, dan ingin mendapat pengaruh dari para pemimpin. Allah memerintahkanku agar amal itu tidak sampai melewatiku. Setiap amal yang tidak bersih karena Allah lillahi Ta’ala, itulah yang disebut riya’. Allah tak akan menerima amal orang-orang yang riya’.

Kemudian ada lagi malaikat hafazhah naik membawa amal seorang hamba : shalat, zakat, puasa, haji, umrah, akhlaq yang baik, pendiam, tidak banyak bicara, dzikir kepada Allah. Amalnya itu diiringi para malaikat hingga langit ke tujuh, bahkan sampai menerobos memasuki hijab-hijab dan sampailah ke hadirat Allah SWT. Para malaikat itu berdiri di hadapan Allah. Semua menyaksikan bahwa amal ini adalah amal yang shalih dan ikhlas karena Allah SWT. Namun Allah befirman, ” Kalian adalah hafazhah, pencatat amal-amal hamba-Ku. Sedangkan akulah yang mengintip hatinya. Amal ini tidak karena-Ku. Yang dimaksud oleh si pemilik amal ini bukanlah Aku. Amal ini tidak di ikhlaskan demi Aku. Aku lebih mengetahui dari kalian apa yang dimaksud olehnya  dengan amalan itu. Aku laknat dia, karena menipu orang lain, dan juga menipu kalian (para malaikat hafazhah). Tapi Aku tak’kan tertipu olehnya. Aku ini Yang Paling Tahu akan ha-hal yang ghaib. Akulah yang melihat isi hatinya, dan tidak akan samar kepada-Ku setiap apapun yang samar. Tidak akan tersenbunyi bagi-Ku seetiap apapun yang tersembunyi. Pengetahuan-Ku atas apa yang terjadi sama dengan pengetahuan-Ku akan apa yang akan terjadi. Pengetahuan-Ku atas apa yang telah lewat sama dengan pengetahuan-Ku atas apa yang akan datang. Pengetahuan-Ku kepada orang-orang terduhulu sebagaimana pengetahuan-Ku kepada orang-orang yang kemudian. Aku lebih tahu atas apa pun yang lebih samar daripada rahasia. Bagaimana bisa amal hamba-Ku menipu-Ku. Dia bisa menipu makhluk-makhluk, yang tidak tahu, sedangkan Aku ini Yang Mengetahui hal-hal yang ghaib. Laknat-Ku tetap kepadanya.”Tujuh malaikat hafazhah yang ada pada saat itu dan 3000 malaikat lain yang mengiringinya menimpali. “Wahai Tuhan kami, dengan demikian tetaplah laknat-Mu dan laknat kami kepadanya. ” Maka semua yang ada di langit pun mengatakan. ” Tetaplah laknat Allah dan laknat mereka yang melaknat kepadanya.”

“Tahanlah Mulutmu”
Mu’adz pun kemudian menangis terisak-isak dan berkata. ” Ya Rasulullah, bagaimana aku selamat dari apa yang baru Engkau ceritakan itu?” Rasulullah SAW menjawab. ” Wahai Mu’adz , ikutilah nabimu dalam hal keyakinan !” Mu’adz berkata lagi. ” Wahai Tuan, Engkau adalah Rasulullah. Sedangkan aku ini si Mua’adz bin jabal, bagaimana aku dapat selamat dan terlepas dari bahaya tersebut ?” Rasulullah SAW bersabda. ” Seandainya dalam amalmu ada kelengahan, tahan mulutmu, jangan sampai menjelek-jelekan orang lain, dan juga saudara-saudaramu sesama ulama. Apabila engkau hendak menjelek-jelekna orang lain, ingatlah pada dirimu sendiri. Sebagaimana engkau tahu dirimu pun penuh dengan aib. Jangan membersihkan dirimu dengan menjelek-jelekan orang lain. Jangan mengangkat diri sendiri dengan menekan orang lain. Jangan riya’ dengan amalmu agar diketahui orang lain. Janganlah termasuk golongan orang yang mementingkan dunia dan melupakan  akhirat. Kamu jangan berbisik-bisik dengan seseorang padahal disebelahmu ada orang lain yang tidak diajak brbisik. Jangan takabur kepada orang lain, nanti akan luput bagimu kebaikan dunia dan akhirat. Jangan berkata kasar dalam suatu majelis dengan maksud supaya orang-orang takut akan keburukan akhlaqmu itu.  Jangan mengungkit-ungkit apabila berbuat kebaikan. Jangan merobek-robek (pribadi) orang lain dengan mulutmu, kelak kamu akan dirobek-robek oleh anjing -anjing neraka jahanam, sebagaimana firman Allah. ” Wannaasyithaati nasythaa.”(Di neraka itu ada anjing-anjing perobek badan-badan manusia, yang mengoyak-ngoyak daging dari tulangnya). Aku(mu’adz) berkata.” Ya Rasulullah, siapa yang akan kuat menanggung penderitaan semacam ini ?” Jawab Rasulullah SAW, ” Wahai Mu’adz, yang kuceritakan tadi itu akan mudah bagi mereka yang dimudahkan Allah SWT. Cukup untuk mendapatkan semua itu, engkau menyayangi orang lain sebagaimana engkau menyayangi dirimu sendiri. dan membenci sesuatu terjadi kepada orang lain apa-apa yang engkau benci bila sesuatu itu terjadi kepadamu. Apabila seperti itu, engkau akan selamat, terhindar dari penderitaan itu .” Khalid bin Ma’dan (yang meriwayatkan hadits itu dari Mu’adz RA) mengatakan, “Mu’adz sering membaca hadits ini sebagaimana ia seringnya membaca Al’Quran, mempelajari hadits ini sebagaimana ia mempelajari Al’Quran dalam majelisnya.”